Qurban, Wujud Kesadaran Imani

Oleh : DR. H. Maimun Zubair, S.Pd, M. Pd

DR. H. Maimun Zubair, S.Pd, M. Pd (Tengah baju Kunig) berpose bersama Proffesor, DR, H. Amir Azis, M.Ag dan tokoh agama lainnya.

BidikNews
- Kewajiban menjalankan ibadah qurban tidak lain merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT atas berbagai rizki dan nikmat yang diberikan kepada kita selaku hamba-Nya yang beriman dan ber-Islam.

"Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."

Perintah berkurban dalam ayat di atas satu nafas dengan perintah shalat, sebagai bentuk nyata dari rasa sukur atas nikmat Tuhan yang tiada tergingga jumlahnya.

Asal muasal dari pelaksanaan qurban adalah peristiwa dramatis yang melibatkan tokoh kharismatik dalam teologi Islam yakni Ibrahim as, Ismail as, dan Siti Hajar.

Dikisahkan bahwa ketika Ismail akan tumbuh menjadi dewasa, keimanan Nabi Ibrahim as diuji oleh Allah Swt. Melalui mimpi--Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih putra tercintanya yakni Ismail as. Terlintas dalam pikirannya, Ismail yang sudah lama ditunggu kehadirannya sebagai buah hati satu-satunya dan dibayangkan sebagai penerus perjuangannya, harus berakhir secara tragis di ujung pedangnya sendiri. Orang tua manakah yang sanggup membayangkan tugas semacam itu?

Kegiatan qurban di Masjid Al Achwan Griya Pagutan Indah Mataram beberapa tahun lalu.

Di sinilah iman dan ketulusan hati dihadapkan dengan realitas; pilihan antara hati dan akal, antara cinta pada Allah dengan cinta pada anak.

Nabi Ibrahim sempat mengalami kegalauan dan kebimbangan untuk memilih antara cinta dan kebenaran. Dan akhirnya Nabi Ibrahim as dapat memenangkan kebenaran serta cinta pada Allah daripada kecintaannya kepada anak satu-satunya yang dimiliki.

Nabi Ibrahim meyakini dan menyadari bahwa semua yang dimilikinya pada hakikatnya adalah milik Allah dan pemberian Allah. Bila dikehendaki, Allah berhak meminta kembali seluruh miliknya, baik itu yang ada di langit maupun yang ada di bumi kapan saja Allah mau.

Keberhasilan Nabi Ibrahim as memenangkan kebenaran dan cinta kepada Allah tidak membuat beliau otoriter, namun beliau menempuh dengan cara-cara yang arif dan bijaksana; untuk menjalankan perintah Allah yang amat sangat berat itu, Ismail putra kesayangannya dipanggil untuk diperkenalkan kepada hakikat hidup, cinta dan kebenaran. Dan Ismail mampu menangkap kegalauan hati ayahnya. Kepada ayahnya, Ismail memilih kata yang tepat dalam menyatakan pendapatnya:

 “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. As Shaaffat : 102)

Subhanallah, kalimat yang keluar dari lisan mungil Ismail itu benar-benar mengiris hati dan perasaan Ibrahim as. Hati Ibrahim bertambah sedih dengan kepolosan dan ketulusan buah hatinya dalam memberikan jawaban. Jawaban yang tentunya lahir dari kesadaran imani dari seorang anak sholeh hasil tempaan Ayah dan Bundanya.

Ibrahim sebagai seorang ayah tidak boleh memperlihatkan kesedihan itu di hadapan putera kesayangannya. Dengan niat yang lurus (hanif) kedua manusia mulia itu akhirnya bergegas untuk memenuhi perintah Tuhannya, sekalipun dalam ukuran kemanusiaan adalah amat sangat berat.

Ketika kedua insan mulia itu dengan ikhlas menjalankan perintah Allah dan pisau pun nyaris menggores leher Ismail, tiba-tiba terdengar suara dari lembah bukit terjal memanggil Nabi Ibrahim:  

"Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." As Shaffat: 104-106


Demikianlah Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. membuktikan keimanan dan kecintaan serta ketaatannya kepada Allah, sehingga Allah menggantinya dengan kenikmatan yang tiada tara yaitu seekor sembelihan domba yang besar. Dan peristiwa inilah yang diabadikan dalam ibadah qurban yang senantiasa kita laksanakan setiap tanggal 10 sampai 13 Dzuhijjah setiap tahunnya.

Perintah Allah dalam surat As Shaffat tersebut di atas, jelas merupakan ujian yang sangat berat yang hanya dengan keimanan yang kuat bisa dipenuhi, dan nabi Ibrahim dan Ismail as lulus dalam ujian itu.

Apa yang dicontohkan keluarga Ibrahim As berupa kepasrahan dan ketundukan kepada perintah Allah yang begitu berat, adalah i’tibar yang sangat berharga untuk kita jadikan pelajaran penting dalam rangka mewujudkan keluarga unggul di dalam rumah tangga yang kita bina.

Jangan pernah menyoal apa yang Tuhan perintahkan kepada kita dalam bentuk syariat agama, kerjakanlah dengan gembira dan ikhlas, dibalik perintah itu pasti Tuhan sediakan hikmah yang luar biasa. Wallahu a’lam. 

Penulis adalah : Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
 

Pewarta : Tim BidikNews
Editor  : BN-007

0 Komentar