Jangan Dibiasakan Menipu Tuhan, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M.Pd.


ADA
tiga harmoni kehidupan yang harus kita pelihara didalam diri kita sebagai bagian dari ekosistem dari semesta raya ciptaan Tuhan, yakni harmoni with god, harmoni with people, dan harmoni with nature. Dengan memelihara tiga harmoni kehidupan ini, maka ekosistem (kesatuan) semesta raya akan terwujud, sebaliknya jika tiga harmoni didalam diri kita terganggu, maka kita bukan lagi menjadi bagian dari ekosistem, malah akan menjadi egosistem, merasa lebih baik dari siapapun termasuk merasa lebih baik dari semesta raya.

Tiga harmoni itu harus hidup didalam raga, didalam hati, dan didalam rasa kita masing-masing, yang dalam bahasa agama disebut dengan hablumminallah, hablumminannas, dan hablumminal alam. Ketiga hubungan ini jika dikelola dan dipelihara dengan sebaik-baiknya akan membawa kita kepada satu level yang indah yakni menjadi orang yang satunya kata dengan perbuatan, tidak ada yang dimanupilasi dan tidak ada yang dibuat-buat.

Banyak gejala yang kita saksikan dalam elemen kehidupan, baik dalam tataran sosial, muamalah, kemanusiaan, maupun ibadah di mana sering sekali muncul tindakan yang tak disadari bertentangan dengan nilai dari ketiga harmoni kehdupan tersebut, terutama sekali harmoni dengan Tuhan. Banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terperangkap dalam satu perilaku yang tidak etis dengan Tuhan kalau kita enggan mengatakan menipu Tuhan. 

Ada istilah yang tidak populer namun secara tak disadari teraplikasi dalam perilaku, yakni ”menipu Tuhan dengan berkedok syariat”. Banyak yang tak sadar dengan tidakannya sendiri yang sesungguhnya sedang menipu Tuhan sekalipun sedang menjalankan syariat yang diwajibkan agama. Dan tindakan itu sangat buruk, karena ada upaya untuk tampak religius atau mematuhi perintah agama, padahal sebenarnya tindakannya sungguh bertentangan dengan hakikat kepatuhan, yang dalam bahasa yang sederhana, menipu Tuhan dengan syaraiat yang tak disadari. 

Ada beberapa lahan yang cenderung dapat menjadi wahana untuk menipu Tuhan yakni melakukan amalan ibadah atau amal kebaikan bukan semata-mata karena Tuhan, terutama dalam salat, sedekah, hubungan sosial, kefasihan dalam literasi agama, dan seni dalam berkisah.

Dalam praktik salat misalkan, banyak dari pelaku salat nampak sangat khusyu’, tertunduk di hadapan Tuhan, terpaku seakan tak berdaya, dan fokus hanya untuk Tuhan, akan tetapi dibalik yang nampak itu ternyata pikiran dan hatinya ke mana-mana. Kondisi inilah yang oleh sebagian ulama salaf mengatakan menipu Tuhan, dan perilaku seperti ini akan berdampak pada merusak integritas moral dan spiritual, membuat kita jauh dari jalan yang benar, dan jauh dari sikap ikhlas.

”fa wailul lil-mushallîn. alladzîna hum ‘an shalâtihim sâhûn. alladzîna hum yurâ'ûn.” Terjemahannya, Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, yang berbuat riya' (ingin dipuji). (QS. Al-Ma'un ayat 4-6)

Menipu dalam salat dengan gerakan yang bagus namun hati tidak fokus adalah tindakan yang sangat merugikan. Salat yang dilakukan hanya sebagai gerakan fisik tanpa mengikutsertakan hati dan pikiran tidaklah memenuhi tujuan utama dari ibadah tersebut. Dalam Islam, salat bukan hanya tentang gerakan tubuh, tetapi juga tentang penghayatan dan keterlibatan hati serta pikiran. Keterlibatan secara utuh menjadi penciri bahwa seorang hamba tidak melakukan tipuan kepada Tuhan. Menjaga kekhusyukan dalam salat adalah penting untuk memastikan bahwa ibadah tersebut dilakukan sesuai dengan yang Tuhan syariatkan. 

Di samping salat, ada juga lahan yang cenderung menipu Tuhan melalui syariat, semisal sedekah yang sering dijadikan sebagai kedok untuk pamer untuk memperoleh pujian atau pengakuan dari manusia. Padahal idealnya sedekah adalah bentuk ibadah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan membantu sesama. Sedekah membersihkan harta dan jiwa dari sifat kikir. Sedekah menumbuhkan rasa kasih sayang dan solidaritas sosial di antara umat manusia.

Tindakan pamer dalam bersedekah dapat merusak moral dan integritas, menjadikan pelakunya lebih mementingkan pandangan manusia daripada ridha Tuhan. Amal yang dilakukan dengan niat tidak ikhlas karena Tuhan tidak akan membawa keberkahan baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Jika sedekah dijadikan sebagai alat untuk pamer, maka sama dengan menipu Tuhan, di samping amalnya tidak akan diterima dan bahkan justru mendatangkan murka Tuhan. 

”In tubduṣ-ṣadaqāti fa ni'immā hiy, wa in tukhfụhā wa tu`tụhal-fuqarā`a fa huwa khairul lakum...” Terjemahannya, Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu." (QS. Al-Baqarah ayat 271).


Kemudian ada juga lahan yang mengantarkan kepada menipu Tuhan melalui praktik syariat seperti ada seseorang yang fasih dalam membaca Al-Qur'an dan fasih dalam literasi agama yang lainnya, namun kesehariannya gemar berbohong, ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kemampuan membaca dan mengamalkan syariat agama, yang dalam pandangan ulama salaf adalah menipu Tuhan. Islam mengajarkan pentingnya kejujuran dan integritas sebagai nilai-nilai inti dalam kehidupan sehari-hari. 

Kemudian ada juga orang-orang yang bicaranya halus namun juga pandai berbohong sering kali lebih sulit untuk dikenali sebagai pembohong. Mereka bisa memberikan kesan yang baik dan dapat dipercaya, padahal sebenarnya tidak selalu jujur. Ini adalah perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama, yang menekankan pentingnya kejujuran dan integritas.

" Yâ ayyuhalladzîna âmanuttaqullâha wa qûlû qaulan sadîdâ”. Terjemahannya, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu, dan katakanlah perkataan yang benar" (QS. Al-Ahzab: 70). Kehalusan berbicara seharusnya digunakan untuk menyampaikan kebenaran, bukan untuk menutupi kebohongan.

Penting bagi kita untuk tidak hanya fasih dalam membaca Al-Qur'an dan literasi lainnya, tetapi tetaplah komitmen untuk selalu jujur dan tulus dalam perkataan dan perbuatan. Kejujuran adalah fondasi dari karakter yang baik dan merupakan salah satu nilai utama yang diajarkan dalam Islam.

Selanjutnya lahan yang dapat mendatangkan praktek menipu Tuhan adalah kepandaian menyusun cerita atau berkisah dengan cara yang meyakinkan, tetapi sesungguhnya sedang menggibah atau menceritakan sesuatu dengan tujuan yang tidak baik. Ini perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai etika dan moral. Dalam Islam, menggibah atau mengumpat adalah perbuatan yang sangat tidak disukai Tuhan. 

”Wa lâ tajassasû wa lâ yaghtab ba‘dlukum ba‘dlâ, a yuḫibbu aḫadukum ay ya'kula laḫma akhîhi maitan fa karihtumûh, wattaqullâh, innallâha tawwâbur raḫîm”. Terjemahannya, Dan janganlah sebahagian kamu mengumpat sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hujurat ayat 12).


Menyampaikan cerita yang memukau pendengar namun sebenarnya berisi ghibah atau fitnah adalah perilaku buruk, karena mengungkapkan atau menyebarkan hal-hal tidak pantas tentang seseorang di belakangnya, yang jika terbuka di depannya pasti akan membuatnya merasa terluka atau malu. 

Dalam Islam, ditekankan bahwa kita harus menjaga lisan dari perkataan yang tidak baik atau dapat merugikan orang lain. Sebaliknya, dianjurkan untuk menggunakan kefasihan berbicara untuk menyampaikan kebenaran, memberikan nasihat yang baik, dan menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama.

Sebagai catatan akhir, menjaga keikhlasan dan ketulusan dalam aktivitas ibadah, ketuluan dalam bersedekah, ketulusan dalam membaca al-qur’an dan literasi lainnya dan ketulusan dalam berkisah adalah kunci untuk menghindari perilaku menipu Tuhan dengan kedok menjalankan syariat yang benar. Ingatlah, bahwa Tuhan Maha Mengetahui walau hanya sekedar niat dan getaran hati, sehingga hanya dengan keikhlasan dan ketulusan sejati seseorang dapat mencapai keridhaan-Nya.

Penulis: adalah Wakil Rektor II UIN Mataram


0 Komentar