Oleh : Salahuddin Dae Ompu
Runtuhnya kekuatan dinasti diawali dengan tanda-tanda rakusnya seseorang atau satu keluarga atau satu keturunan untuk berkuasa dalam sistim pemerintahan di suatu negeri.
SEMUA mahfum bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi di dunia ini, sebuah kekuasaan dinasti yang dibangun cepat atau lambat pasti akan tumbang.
Dinasti Kekuasaan sering dianggap sebagai antitesis dari hadirnya demokrasi. Namun, tampaknya hal ini justru telah menjadi bagian dari demokrasi modern.
Dinasti Kekuasaan tampaknya sulit dihindari. Partai politik kerap terjebak melanggengkan dinasti kekuasaan dari internalnya, kebanyakan demi mempertahankan eksistensinya.
Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak dan mantan pemimpin diktator Libya Muammar Gaddafi, misalnya, merupakan dua contoh pemimpin politik yang merancang dinasti mereka. Mereka mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan kepemimpinan yang mereka bangun untuk terus memiliki kuasa dalam proses pemerintahan.
Di Indonesia sendiri, istilah dinasti kekuasaan bukanlah hal yang asing kita dengar. Contoh bagaimana kisah Gubernur Ratu Atut di Banten yang pada akhirnya tumbang karena kasus korupsi.
Di Indonesia, menunjukkan bahwa kader atau calon penguasa dalam satu keluarga yang berkuasa dianggap memiliki reputasi tersendiri dan lebih mudah dikenal oleh publik, dan ini dilihat sebagai suatu keuntungan, pada gilirannya membuat sejumlah partai politik untuk terus mendorong hadirnya keluarga politik dinasti tumbuh subur di Indonesia.
Di samping itu, kader yang berasal dari dinasti politik biasanya telah memiliki akses sumber daya yang jauh lebih mumpuni. Mereka telah siap dengan sumber daya kampanye, mulai dari pendanaan, relawan, hingga dukungan media.
Selain itu, partai menganggap pihak keluarga kemungkinan lebih loyal dan dipercaya oleh elit partai, sehingga mereka punya akses terhadap proses kaderisasi yang lebih mudah dan cepat.
Bahkan, jika partai tersebut telah memiliki sejarah panjang dan memiliki pengaruh yang kuat, kecenderungan timbulnya dinasti politik untuk meraih kekuasaan biasanya akan lebih leluasa.
Fenomena dinasti kekuasaan dalam politik juga erat kaitannya dengan pihak tertentu yang mengambil keuntungan adanya hubungan khusus dengan pengambil kebijakan.
Kondisi ini membuat urusan yang semestinya dijalankan secara profesional, berakhir dengan mengakomodasi kepentingan masing-masing.
Bagi partai politik, dinasti juga sering digunakan sebagai jalan pintas untuk menaikkan elektabilitas dan popularitas partai. Ini bisa menjadi strategi cepat untuk memenangkan pemilu atau pilkada. Tetapi jangan heran dinasti politik dan kekkuasaan juga membawa dampak yang berbahaya.
Dari berbagai sumber yang dihimpun media ini meyebutkan bahwa, ada banyak gambaran bagaimana kekuasaan di banyak wilayah Timur, seperti Libya, Mesir, Iraq dan lain-lain, negara tersebut dikonsentrasikan di tangan satu individu atau keluarga.
Di sana, banyak pemimpin yang akhirnya dengan sengaja melakukan dinasti politik demi membangun sistem yang dapat mengamankan kekuasaan mereka.
Contohnya adalah Ali Abdallah Saleh, Presiden Yaman periode 1990–2012, yang pada akhir 2010 berniat mengubah konstitusi agar putranya bisa menggantikannya sebagai pemimpin.
Sama halnya dengan mantan pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang meneruskan kepresidenan kepada salah satu dari dua putranya, Uday atau Qusayy. Untungnya, era Saddam dan semua pemikiran tentang dinasti Hussein berakhir setelah invasi AS ke Irak pada 2003.
Firaun, pada masanya, dikenal sebagai penguasa yang kejam dan ditakuti. Tak ada satu pun orang berani membangkang perintahnya. Bahkan seperti diceritakan dalam Al Qur'an, Firaun mengumpulkan seluruh rakyatnya kemudian dia mengaku sebagai tuhan yang paling tinggi dan tak ada satu pun yang berani membantah.
Namun, Firaun dan konco-konconya itu tak berdaya di hadapan seorang wanita. Dia adalah Asiyah binti Muzahim, istri yang sangat dicintai dan ditakuti Firaun.
Raja Namrud dikenal karena memiliki harta yang luar biasa. Cadangan makanannya berlimpah, bala tentaranya banyak, serta istana yang megah bersama menara babel Raja Namrud.
Dengan semua nikmat dan kekayaan tersebut, ia berperilaku sombong. Sifat tersebut ternyata membuat ia lupa diri dan mengaku sebagai Tuhan. Ia juga meminta pengakuan kepada seluruh rakyatnya. Lalu Allah mengazabnya dengan mengirim jutaan nyamuk menuju bala tentara Raja Namrud.
Saking banyaknya, sinar matahari pun tertutup oleh gerombolan nyamuk. Nyamuk tersebut menghisap seluruh darah bala tentara Raja Namrud.
Melihat itu, Raja Namrud pun lari dan bersembunyi ke ruangan khusus tetapi satu nyamuk mengikutinya dan masuk ke kepalanya melalui lubang hidungnya.
Seekor nyamuk itu menyiksa Raja Namrud selama 400 tahun atau selama ia berkuasa dengan sifat sombongnya. Raja Namrud pun meninggal dunia dengan keadaan dzalim.
Al-Qur’an sebagai referensi utama umat Islam, dan juga petunjuk bagi manusia (hudan linnas), dengan sangat cermat dan teliti serta runut mencatat sekaligus menginformasukan realitas itu semua.
Bukan untuk dicontoh, akan tetapi hal tersebut sepatutnya menjadi ibrah, menjadi pelajaran bahwa rakusnya seseorang akan kekuasaan pada saatnya pasti hancur.
Keruntuhan dan kehancurannya itu, bisa berasal dari luar lingkaran kekuasaannya. Dan tidak jarang juga berasal dari dalam lingkaran kekuasaan itu sendiri.
Gambaran diatas sebagai satu peringatan bahwa dinasti politik dan kekuasaan pada akhirnya menciptakan sistem yang membuat kekuasaan, hak istimewa, dan kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elit. Sementara mayoritas penduduk dibiarkan kehilangan kendali atau tak lagi memiliki pengaruh.
Lebih jauh lagi, dinasti politik dan kekuasaan dapat meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem yang mengutamakan hubungan pribadi dan loyalitas akhirnya rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Sejumlah hasil penelitian para ahli juga membuktikan bahwa semakin meningkatnya dinasti politik yang terjadi, semakin buruk akibatnya pada pertumbuhan ekonomi bahkan bisa melahirkan kemiskinan yang parah di suatu daerah.
Selain masalah ekonomi, masalah krisis kader dan kepemimpinan jelas akan menjadi tantangan dari partai politik tersebut. Jika partai bergantung pada dinasti politik, ini dapat menghalangi regenerasi dan inovasi di dalam partai itu sendiri.
Jika posisi politik terus-menerus didominasi oleh anggota keluarga yang sama, kesempatan bagi individu yang berbakat dari luar keluarga untuk mendapatkan kesempatan memimpin jadi terhalang.
Dari sejumlah dampak yang timbul tersebut bukan berarti upaya untuk melepaskan diri dari dinasti politik akan tersumbat. Banyak cara untuk mencegah hal-hal buruk tersebut terjadi, partai politik semestinya mulai memikirkan upaya untuk mencegah terjadinya dinasti politik.
Karena itu banyak pihak yang mengingatkan soal dampak praktik politik dinasti. Bahwa dinasti kekuasaan dapat merusak demokrasi, karena kontrol terhadap kekuasaan akan melemah.
Kontrol kekuasaan akan menjadi lemah apabila relasi-relasi kekerabatan itu ada dalam institusi-institusi pemerintahan, atau bahkan membukakan jalan kerabatnya yang menduduki jabatan tertentu.
Jika itu dibiarkan, hal itu akan memberikan jalan bagi praktik korupsi, bahkan bisa lebih parah pada muara pembajakan terhadap demokrasi. Pembajakan demokrasi dilakukan lewat cara demokratik berdasarkan prosedural yang seakan-akan sesuai aturan.
26 tahun reformasi Indonesia masih menyisakan masalah besar dengan korupsi. Skandal Korupsi hampir di semua lini pemerintahan yang masih menggurita sedemikian akut.
Usaha pemerintah memang sudah luar biasa keras namun kultur koruptif sepertinya susah untuk diberantas. Banyak sekali regulasi dibuat dan diimplementasikan namun mudah sekali untuk dilanggar. “Setali tiga uang”.
Nepotisme juga menjadi masalah yang sampai hari ini belum tuntas untuk dibumihanguskan dari persada Indonesia. Padahal, karena nepotisme pula, rezim Orde Baru kemudian tumbang dan Negara mengalami krisis sampai pada derajat yang tidak bisa ditoleransi lagi.
Penting dicatat bahwa dinasti kekuasaan dapat mengandalkan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan (famili).
Dinasti kekuasaan juga ditandai dengan tersebarnya jaringan kekuasaan dengan cara penunjukan keluarga, seperti, anak, (istri/suami), paman, saudara, ipar dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam institusi pemerintah.
Dalam sistim dinasti kekuasaan acap kali keluarga mendapatkan keistimewaan untuk menempati pelbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi.
Tak bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan demokrasi. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga.
Di sisi lain politik dinasti semakin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak mempunyai kompetensi yang memamdai.
Pada gilirannya, roda pemerintahan semakin tidak terarah. Kondisi ini pada akhirnya juga berkontribusi terhadap tertutupnya pintu kesejahteraan rakyat.
Meski demikian tidak semua politik dinasti didasari atas upaya untuk melanggengkan kekuasaan keluarga. Munculnya tokoh yang kompeten, kredibel, serta mempunyai segudang pengalaman organisasi barangkali bisa dijadikan sebagai bukti.
Artinya, meskipun orang tersebut berada dalam lingkaran keluarga dekat, belum tentu peran mereka hanya sekedar untuk memenuhi hasrat politik keluarga.
Dampak negatif dinasti politik bisa diminimalisir manakala aspek moral dan kualitas individu menjadi pertimbangan penting. Artinya tidak selamanya praktek dinasti politik mempunyai dampak yang negatif. Dalam kaitan ini semua bergantung dari moralitas yang menerima kekuasaan dalam menjalankan kewenangannya.
Lebih tepatnya karena adanya mekanisme kontrol dan sistem rekruitmen yang terbuka, meskipun anggota keluarga mewarisi kekuasaan, praktik penyalahgunaan wewenang masih bisa ditekan. Hal tersebut sangat beralasan sebab ruang kritik dari publik terbuka lebar.
Dengan demikian aspek moral dan kualitas individu menjadi penentu apakah dinasti politik akan memberi dampak positif atau negatif bagi roda pemerintahan.
Yang menarik perhatian publik adalah hadirnya sejumlah figur dalam satu keluarga pada pilkada Bupati/walikota ataupun pilkada Gubernur yang terjadi disetiap daerah di Indonesia.
Ada suami ISTRI yang ikut pilkada sementara, Ada juga orang tua dan anak dalam satu keluarga serta saudara dengan saudara yang sehingga meberi gambaran bahwa orang lain tidak memilki kemampuan apa-apa dimata mereka. Kesemua itu memberi gambaran adanya beragam fenomena yang terjadi disuatu daerah untuk memburu tahta kekuasaan.
Penulis: adalah Pimpinan Redaksi BidikNews.net dan Direktur Lembaga Investigasi
0 Komentar