Ada peribahasa dalam Bahasa Inggris, "The liar guards his ears because he knows what comes out of his own mouth". Proverbs ini bisa diterjemahkan "Pembohong menutup kupingnya sendiri karena dia tahu apa yang keluar dari mulutnya".
Demikian tulis Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag. (Ahmad Inung) Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kemenag RI yang dirilis dari Progresif.com : 07/Sep/2024 (3 Rabiul Awal 1446).
Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag mengatakan, dalam keseharian, kita bisa saja tertipu oleh kebohongan orang lain. Penipuan bisa terjadi dalam bentuk dan level berbeda. Mulai hal receh soal timbangan gula pasir di pasar-pasar tradisional hingga isu-isu besar menyangkut nasib jutaan manusia.
Korban penipuan bisa hanya melibatkan satu-dua orang, tetapi di lain waktu di level yang sama, angkanya bisa mencapai jutaan kepala. Pada tahap inilah kebohongan menjelma menjadi kebenaran yang teryakini.”
Berdasarkan data Kominfo, selama periode Agustus 2018 hingga 31 Mei 2023, teridentifikasi sebanyak 11.642 konten hoaks yang digelontorkan ke ruang publik melalui berbagai kanal informasi. Dari jumlah itu, kata Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag. konten hoaks tertinggi adalah isu kesehatan (2.287), disusul oleh isu pemerintahan (2.111), penipuan (1.938), dan politik (1.373).
Coba bayangkan, kata Direktur PTKI Kemenag RI itu, berapa juta orang yang mungkin tertipu oleh ribuan konten hoaks tersebut. Jika setiap konten bohong itu berhasil menipu sepuluh orang saja, maka ada 116.420 orang yang memeluk kebohongan dan meyakininya sebagai kebenaran. Lipatkanlah angka pengali ini, maka angka jutaan bukan hal yang mustahil.” Katanya.
Jika keyakinan ini ditautkan dengan kepentingan-kepentingan lain, maka kebohongan itu akan semakin meluas dan semakin dalam. Semakin banyak pihak yang mengamplifikasi kebohongan sebagai kebenaran, semakin kuat daya rusaknya karena semakin kecil kemungkinannya untuk dipertanyakan.” Jelasnya.
Mengapa orang berbohong?
Mengutip pernyataan Victoria Talwar, seorang profesor di bidang Psikologi Pendidikan dan Konseling, Universitas McGill, menyebutkan setidaknya ada enam motif kebohongan. Tapi ada tiga motif negatif di belakang tindakan berbohong: menghindari efek buruk atau hukuman; menjaga kepentingan pribadi; dan menjaga citra.
Takut terhadap dampak buruk atau hukuman adalah motif terbesar seseorang berlaku bohong. Lihatlah sidang-sidang kasus korupsi, betapa canggihnya kebohongan di pertontonkan.” Kata Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag
Dikatakannya, Jangan pernah berharap koruptor akan mengakui kejahatannya. Bahkan, Tuhan pun diseret-seret untuk menutupi kebohongannya, bahkan membenarkan perilakunya. Kebohongan yang canggih sangat mungkin mampu menipu jutaan orang. Tapi pembohong tahu bahwa dia sedang berbohong. Apakah dia sadar bahwa Tuhan tidak bisa dibohongi? Seratus persen dia tahu.” Kata Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag lagi.
Tapi pembohong akan melakukan segalanya untuk menutupi kebohongannya. Kebohongan hanya bisa ditutupi dengan kebohongan-kebohongan selanjutnya. Menjaga kepentingan pribadi adalah motif terbesar kedua seseorang berbohong. Ketika seseorang memiliki kepentingan tertentu, dia akan berusaha memengaruhi siapa saja agar kepentingannya terpenuhi. Di sinilah pintu kebohongan terbuka.
Motif berikutnya adalah menjaga citra. Sekadar gambaran ringan, lihatlah baliho-baliho orang yang sedang punya kepentingan atas jabatan tertentu. Beranikah mereka memberikan informasi bahwa dia adalah seorang koruptor yang lari ke sana ke mari untuk menghindari tangkapan aparat penegak hukum, misalnya?
Beranikah dia menulis di bawah fotonya bahwa dia adalah pengkhianat yang alih-alih bertobat, tapi malah menutupinya dengan narasi-narasi bohong untuk membenarkan pengkhianatannya? Tutur Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag dengan nada tanya.
Kalau ada orang yang tertipu kemudian membenarkan sebuah kebohongan, ini bisa diterima. Namanya juga tertipu. Tapi bagaimana dengan mereka yang tahu bahwa itu kebohongan tapi tetap mengikutinya, bahkan membenarkannya dan membelanya? Bagaimana fenomena ini bisa dijelaskan? katanya lagi.
Penjelasannya adalah bahwa mereka yang tahu sebuah informasi sebagai bohong tapi membenarkannya dan membelanya, pada dasarnya orang itu juga berlaku bohong.
Jika orang seperti itu pada dasarnya juga pembohong, maka motif di belakangnya sama. Bisa jadi karena khawatir dengan dampak buruk, memiliki kepentingan tertentu, atau menjaga citra, yang semua itu hanya bisa dipenuhi melalui pembenaran kebohongan.
Adakah orang yang seperti ini? Tentu saja ada. Kemungkinan terbesarnya, mereka adalah orang-orang yang selama ini mendapatkan keuntungan (sosial, ekonomi, politik) dari produksi dan penyebaran kebohongan.
Mereka ini ketakutan jika kebohongan itu diungkap, maka berbagai keuntungan dan citra dirinya akan runtuh. Sebelum berpikir macam-macam dan mencari-cari kambing hitam pada orang lain, perlu dinyatakan di sini, bahwa perilaku bohong bisa terjadi pada siapa saja, termasuk diri kita sendiri.
Perilaku berbohong adalah tindakan naluriah yang mengeram dalam diri setiap orang. Kita perlu mendengar nasehat Sayyidina Ali bin Abi Thalib. "Orang yang berkata jujur akan mendapat tiga hal: kepercayaan, cinta, dan rasa hormat". Karena itu, jangan berbohong dengan apa yang keluar dari mulutmu.
Jika seseorang bertanya, jawablah dengan jujur. Jangan mengelabuhinya atau menyesatkannya. Jika kamu berkata jujur, maka tiga hal akan datang padamu: kepercayaan dari orang; rasa cinta dari orang di sekitarmu; dan rasa hormat yang akan diberikan padamu." tutup Ahmad Inung akrab disapa Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag itu.
Pewarta: TIM
0 Komentar