Akhir Dari Pesta Demokrasi, Saatnya Memaafkan Dan Melupakan, Oleh : Prof. DR. H. Maimun Zubair, M. Pd


Demokrasi sering kali digambarkan sebagai pesta besar, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi, memilih dan mempengaruhi masa depan kemajuan negara atau daerah
. 

SETIAP pemilu menjadi momen yang menggugah semangat kebangsaan, diwarnai dengan pertarungan ideologi, program, dan tokoh-tokoh politik. Namun, seperti halnya sebuah pesta yang akan berakhir, setelah perhitungan suara selesai dan pemenang terpilih, datanglah waktu untuk meredakan ketegangan dan memulai lembaran baru. 

Salah satu ungkapan yang pantas dimunculkan di akhir pesta demokrasi adalah “Saatnya untuk memaafkan dan melupakan”. Ini bukan hanya ungkapan biasa, melainkan sebuah seruan mendalam untuk menjunjung tinggi keikhlasan dalam mengakhiri persaingan politik dan memupuk kedamaian dalam masyarakat.

Setiap kontestasi demokrasi, apalagi yang berlangsung sengit, tidak hanya melibatkan adu gagasan dan visi, tetapi juga adu emosi. Bagi para pendukung, perjuangan ini bisa menjadi sesuatu yang sangat personal. Kemenangan calon yang mereka dukung bisa terasa seperti pencapaian bersama, sementara kekalahan bisa memicu kekecewaan, bahkan kebencian. Di sepanjang jalannya kampanye, politik sering kali membangkitkan polarisasi, memecah belah persaudaraan, dan menumbuhkan perasaan saling tidak percaya antara kelompok yang berbeda.

Namun, begitu hasil pemilu diumumkan dan sang pemenang sudah terpilih, pesta demokrasi yang penuh emosi itu pun tibalah pada titik akhir. Di sinilah tantangan besar muncul: bagaimana melangkah keluar dari perbedaan, bagaimana mengatasi luka politik yang mungkin masih tersisa, dan bagaimana kembali membangun harmoni setelah sekian lama terpecah belah oleh persaingan.

Memaafkan adalah salah satu langkah pertama yang harus diambil setelah pesta demokrasi berakhir. Memaafkan itu lebih kepada melepaskan beban emosi yang dapat menghalangi kemajuan bersama. Di dalam politik, perbedaan pandangan dan bahkan konflik sering kali melibatkan kata-kata atau tindakan yang menyakitkan, baik itu dalam bentuk fitnah, serangan pribadi, atau ketidakadilan dalam kampanye. Semuanya meninggalkan jejak emosional yang tidak mudah untuk dilupakan.

Oleh karenanya, memaafkan adalah langkah yang diperlukan untuk menyembuhkan luka-luka tersebut. Memaafkan bukan hanya untuk kepentingan pihak yang dimaafkan, tetapi juga untuk diri kita sendiri, berdamai dengan diri sendiri, karena luka politik yang terbuka hanya akan menghambat upaya rekonsiliasi.

Di samping memaafkan, juga penting untuk ”melupakan”, yakni proses melepaskan beban masa lalu agar tidak membebani langkah ke depan. Proses ini lebih kepada melepaskan kepahitan dan menata ulang kembali niat untuk bekerja sama demi mewujudkan kemajuan bersama.

Melupakan juga mengandung makna bahwa kita siap untuk menerima bahwa setiap kontestan, baik yang menang maupun yang kalah, memiliki peran penting dalam membentuk arah perjalanan negeri atau daerah. Setiap pemilu memberi pelajaran berharga, kita bisa belajar untuk lebih dewasa, lebih bijak, dan lebih toleran dalam menghadapi perbedaan.

Jadi memaafkan dan melupakan sesungguhnya merupakan bagian dari ekspresi dari keikhlasan, yang tercermin dalam sikap untuk menerima hasil pemilu dengan lapang dada, menghormati keputusan mayoritas, dan mendukung pihak yang terpilih demi kemajuan bersama. Keikhlasan adalah kunci untuk menjadikan pesta demokrasi sebagai proses yang bukan hanya tentang meraih kemenangan politik, tetapi juga tentang bagaimana menyatukan seluruh elemen untuk bekerja bersama mencapai tujuan yang lebih besar.

Perlu dicamkan bersama, bahwa pesta demokrasi adalah sebuah proses kolektif di mana berbagai individu dan kelompok bersaing dengan cara yang terbuka dan sah untuk mendapatkan posisi atau kekuasaan tertentu dalam sistem politik. 

Foto: Repro BidikNews.net


Di balik seluruh ketegangan, perdebatan, dan perjuangan untuk meraih suara terbanyak, ada satu hal yang seharusnya kita pahami dengan baik: baik yang menang maupun yang kalah, semua kontestan sebenarnya adalah pemenang. Ini bukan sekadar retorika atau semangat semu, melainkan sebuah pemikiran logis yang berdasar pada prinsip kesetaraan, kontribusi, dan peran penting yang dimainkan oleh para pihak dalam sebuah sistem demokrasi.

Salah satu alasan utama mengapa semua kontestan dalam pesta demokrasi sebenarnya menang adalah kontribusi kolektif mereka dalam memperkuat proses demokrasi itu sendiri. Setiap kontestan, baik yang berakhir sebagai pemenang maupun yang kalah, telah ikut serta dalam membangun dinamika yang vital bagi kesehatan sistem politik.

Secara logis, dalam sebuah pemilu atau kontestasi politik, para calon, baik yang memiliki suara mayoritas maupun yang tidak, semuanya berperan dalam proses penguatan partisipasi publik. Mereka memberikan alternatif pilihan bagi pemilih, memicu diskusi-diskusi yang berguna, serta mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam menilai calon pemimpin atau kebijakan. Bahkan ketika mereka kalah, mereka telah menyalurkan gagasan, program, dan visi yang bisa mempengaruhi arah diskusi politik dan membangun kesadaran politik publik.

Di samping itu, bahwa setiap pemilu, meskipun hanya menghasilkan satu pemenang, juga berfungsi sebagai pendidikan politik bagi seluruh masyarakat. Proses kampanye, debat, dan diskusi publik yang berlangsung selama kontestasi adalah kesempatan bagi publik untuk belajar lebih banyak tentang isu-isu politik, ekonomi, dan sosial yang relevan. Di sinilah kontribusi setiap kontestan terlihat. 

Pemilu dan kontestasi politik adalah laboratorium pendidikan yang memungkinkan masyarakat untuk menyaring dan mencerna berbagai ide, visi, serta program yang ditawarkan. 

Sekali lagi, bahwa setiap kontestan—meskipun hanya satu yang keluar sebagai pemenang formal—memiliki andil yang tidak ternilai dalam memperkaya diskursus politik, mendidik masyarakat, dan memperkuat sistem demokrasi itu sendiri. 

Oleh karena itu, baik yang kalah maupun yang menang, semua kontestan sejatinya adalah pemenang. Proses demokrasi itu sendiri adalah kemenangan kolektif, di mana setiap orang yang berpartisipasi telah berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang lebih baik, lebih terinformasi, dan lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. 

Sebagai antiseptik terhadap luka politik yang mungkin rasa nyerinya masih tersisa, marilah kita renungkan apa yang difirmankan didalam al Qur’an surat al Hadid ayat 23: ”Likai lâ ta'sau ‘alâ mâ fâtakum wa lâ tafraḫû bimâ âtâkum”. (Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.

Penulis: Adalah Wakil Rektor II Universitas Islam Negeri ( UIN )Mataram


0 Komentar