UIN Mataram Resmi Miliki 50 Orang Guru Besar, Tanda Keunggulan Ilmu Pengetahuan dan Akademik

Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H. Masnun Tahir, M.Ag

BidikNews.net,Mataram
-  Hari ini Kamis 5 Desember 2024, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram mencatatkan langkah besar dalam perjalanan akademiknya dengan mengukuhkan tiga Guru Besar yang memiliki kontribusi luar biasa di bidang keilmuan masing-masing. Tiga bidang ilmu yang diwakili—Evaluasi Pendidikan, Antropologi Sosial, dan Ilmu Pendidikan Kimia—menunjukkan betapa UIN Mataram terus berkomitmen untuk memajukan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui penelitian dan pengembangan interdisipliner yang kaya, relevan, dan kontekstual.

Tiga Guru Besar ini sekaligus melengkapi jumlah Guru Besar UIN Mataram menjadi 50 orang. Capaian yang menjadi satu kebanggaan bagi seluruh Civatas Akademika UIN Mataram sekaligus sebagai kado spesial bagi kampus yang telah meraih predikat Unggul untuk Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Pengukuhan ketiga Guru Besar ini bukan hanya sebuah momen prestasi individu, tetapi juga simbol dari komitmen institusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang berkualitas, yang mampu menjawab tantangan zaman dalam konteks sosial, budaya, dan pendidikan. Mari kita telaah capaian ini lebih dalam dalam masing-masing bidang keilmuan yang diakui hari ini.

Dalam kesempatan ini Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H. Masnun Tahir, M.Ag menjelaskan bahwa Pengukuhan Guru Besar adalah suatu kesempatan untuk memperkenalkan dan mendalami konsep-konsep baru yang memperkaya cakrawala ilmu pengetahuan dari seorang Guru Besar, dengan mengintegrasikan berbagai disiplin dan menghubungkan pengetahuan tradisional dengan ilmu modern.

Rektor menambahkan, dalam konteks tiga pidato ketiga Guru Besar kita tadi, terdapat sebuah semangat ”ikon ilmu” yang mencerminkan integrasi dan interkoneksi antara ilmu pengetahuan, budaya, politik, dan praktik sosial. Ketiga pidato ini menyuarakan pentingnya melihat ilmu dalam konteks yang lebih luas dan menghubungkan berbagai elemen pengetahuan, baik yang berasal dari dunia akademik maupun dari kebijaksanaan lokal.


Prof. Dr. H. Muhammad Saleh Ending, M.Ag
dengan judul orasi "Tradisi Lisan Sakeco Media Kritik Sosial, Propaganda Dan Pesan Politik”. Dalam pidatonya beliau menyampaikan, bahwa  Sakeco sebagai salah satu bentuk tradisi lisan yang hidup di masyarakat Sumbawa akan dilihat sebagai media sosial yang sangat potensial untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan dan menyampaikan pesan-pesan politik. Sakeco, yang sering kali berisi sindiran-sindiran tajam terhadap ketidakadilan sosial, merupakan cerminan dari interkoneksi antara seni, budaya, dan politik. 

Di satu sisi, Sakeco dapat dilihat sebagai bagian dari warisan budaya lokal, yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi alat kritik sosial yang berfungsi untuk mengungkapkan ketimpangan dalam masyarakat.

Spirit ikon ilmu yang muncul dalam konteks ini adalah pemahaman bahwa budaya lisan, seperti Sakeco, tidak bisa dipisahkan dari ilmu sosial, komunikasi, dan politik. Dalam pembelajaran dan penelitian tentang Sakeco, kita melihat pentingnya menghubungkan kearifan lokal dengan teori-teori sosial dan politik modern. Oleh karena itu, integrasi antara sosiologi, antropologi, dan ilmu politik dengan pengetahuan budaya lokal memungkinkan kita untuk memahami lebih dalam bagaimana tradisi ini tidak hanya sebagai medium hiburan, tetapi juga sebagai strategi politik yang digunakan untuk membentuk opini publik dan mengkritisi struktur kekuasaan.

Horizon ilmu dalam topik ini mencerminkan betapa pentingnya interkoneksi antara berbagai ilmu untuk menganalisis fenomena budaya dalam kerangka sosial-politik yang lebih luas. Ini membuka wawasan bahwa ilmu pengetahuan yang kita miliki tidak hanya didapat melalui buku dan laboratorium, tetapi juga melalui tradisi, praktik, dan interaksi sosial yang ada dalam masyarakat. Sakeco bukan hanya sekadar bentuk hiburan, tetapi juga merupakan wacana kritis yang menyentuh banyak aspek kehidupan, dari seni, politik, hingga sosial budaya.


Prof. Dr. Hj. Lubna, M.Pd
dengan judul orasi ”Evaluasi: Idealisasi, Entitas dan Realitas” menegaskan bahwa Evaluasi sebagai sebuah proses menghubungkan antara idealitas, entitas, dan realitas sangat relevan dengan integrasi berbagai disiplin ilmu. Dalam pidato ini, evaluasi tidak hanya dipahami sebagai suatu proses objektif dan kuantitatif, tetapi lebih sebagai proses yang melibatkan dimensi kualitatif yang mencakup pemahaman mendalam terhadap perbedaan antara harapan (idealisasi) dengan kenyataan yang ada (realitas).

Konsep idealitas mengarah pada cita-cita atau tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan sosial, pendidikan, atau kebijakan tertentu. Entitas merujuk pada unsur-unsur yang membentuk suatu sistem atau fenomena sosial, sementara realitas adalah kondisi nyata yang terjadi di lapangan, yang sering kali tidak sesuai dengan harapan ideal. Evaluasi dalam konteks ini menjadi suatu proses reflektif yang mengintegrasikan berbagai perspektif dari ilmu sosial, filsafat, ekonomi, dan psikologi untuk mengevaluasi ketepatan dan efektivitas kebijakan atau program dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Spirit ikon ilmu dalam pidato ini terletak pada pengakuan bahwa evaluasi tidak bisa dilakukan hanya dengan satu pendekatan tunggal. Sebaliknya, ia membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan integrasi antara teori, praktik, dan konteks sosial yang ada. Evaluasi ini bukan hanya tentang mengukur pencapaian, tetapi juga tentang memahami dinamika antara harapan dan kenyataan, serta bagaimana realitas sosial dapat mempengaruhi entitas yang ada dalam suatu sistem.
Dalam kerangka ini, kita melihat bagaimana ilmu-ilmu yang berbeda—ilmu sosial, politik, ekonomi, dan filsafat—bekerja sama untuk memberikan gambaran yang lebih holistik tentang sebuah fenomena. Horizon ilmu yang dibangun melalui evaluasi ini adalah suatu penggabungan antara nilai-nilai ideal dan realitas yang ada, serta kesadaran akan pentingnya konteks lokal dan global dalam memahami fenomena sosial.

Prof. Dr. Dwi Wahyudiati, M.Pd dengan judul orasi ”Rekonstruksi Pembelajaran Kimia Berbasis Ethnochemistry”. Dalam pidatonya menyampaikan sebuah rekonstruksi pembelajaran kimia yang memadukan antara ilmu kimia dan ethnochemistry—suatu bidang yang mengkaji hubungan antara kimia dengan budaya lokal. Ethnochemistry mencakup pengetahuan tentang bahan kimia yang digunakan dalam masyarakat tradisional, seperti tanaman obat atau teknik pemrosesan bahan pangan yang mengandung prinsip-prinsip kimia. Dengan mendekatkan kimia pada budaya lokal, pembelajaran kimia tidak hanya menjadi sesuatu yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, tetapi menjadi lebih relevan dan aplikatif.

Prof. Dr. Dwi Wahyudiati, M.Pd

Spirit ikon ilmu yang muncul dalam pidato ini adalah pengakuan bahwa ilmu pengetahuan harus berkembang dalam keterhubungan dengan budaya dan masyarakat. Rekonstruksi pembelajaran kimia berbasis ethnochemistry membuka kemungkinan untuk mengintegrasikan ilmu alam (kimia) dengan ilmu sosial dan budaya dalam suatu proses pendidikan yang lebih bermakna. Ini mengajak kita untuk menghargai dan memanfaatkan pengetahuan lokal yang sering kali dianggap "tidak ilmiah", padahal di dalamnya terkandung prinsip-prinsip ilmiah yang sudah teruji dalam kehidupan sehari-hari.

Horizon ilmu yang ditawarkan oleh pendekatan ini adalah integrasi antara sains modern dan pengetahuan lokal, yang memungkinkan siswa atau peneliti untuk tidak hanya memahami teori kimia dalam ruang kelas, tetapi juga untuk mengaplikasikannya dalam konteks sosial dan budaya.

Ethnochemistry mengajak kita untuk melihat bahwa pengetahuan ilmiah yang dianggap objektif dan universal, sebenarnya bisa saling melengkapi dengan pengetahuan tradisional yang berakar pada budaya dan pengalaman masyarakat lokal. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus terbuka untuk interkoneksi dengan praktik-praktik sosial dan kearifan lokal, dan tidak hanya terfokus pada temuan-tepuan eksperimental di laboratorium.

Capaian UIN Mataram hari ini tidak hanya sekadar sebuah peristiwa akademik, tetapi sebuah penanda transformasi besar bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Melalui pengukuhan tiga Guru Besar ini, UIN Mataram semakin menegaskan komitmennya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak hanya relevan dengan kebutuhan akademik, tetapi juga dengan tantangan sosial, budaya, dan global. Dengan jumlah Guru Besar 50 orang, UIN Mataram berpeluang besar untuk menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian yang terdepan di Indonesia, bahkan di kancah internasional.

Pewarta: TIM



0 Komentar