Prof. DR. H.Maimun Zubair, M.Pd
SUATU hari Albert Einstein mengajar dan menulis di papan tulis, kebetulan yang ditulis adalah perkalian sembilan. Einstein menulis sembilan kali satu sama dengan sembilan, sembilan kali dua sama dengan delapan belas dan sampai terakhir dia menulis sembilan kali sepuluh sama dengan sembilan puluh satu kelas pun tertawa terbahak-bahak, karena Einstein berbuat kesalahan. Jawaban yang benar sembilan kali sepuluh jelas sembilan puluh. Seluruh siswa di kelas mengejeknya. Einstein menunggu hingga semua diam, lalu Einstein menjelaskan, saya sudah menganalisis sembilan soal dengan benar, tetapi tidak satu pun dari kalian memberi ucapan selamat atau pujian. Namun ketika saya berbuat kesalahan satu kali saja, anda mencomooh dan mengejek saya.
Dari kisa di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa manusia secara naluriah, cenderung lebih mudah melihat kekurangan dibandingkan kelebihan, baik dalam diri orang lain maupun diri sendiri. Kebiasaan ini tampaknya merupakan fenomena universal yang terjadi di berbagai budaya dan situasi. Namun, di balik kebiasaan ini terdapat mekanisme psikologis, sosial, dan moral yang menarik untuk ditelaah.
Dalam tinjauan psikologi, terdapat konsep negativity bias, yaitu kecenderungan untuk lebih memperhatikan dan mengingat hal-hal negatif dibandingkan hal-hal positif. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi persepsi individu terhadap dunia, tetapi juga berdampak pada emosi, pengambilan keputusan, dan hubungan sosial. Pemahaman tentang negativity bias penting dipahami untuk membantu kita menyadari bagaimana pikiran kita bekerja serta mengelolanya, agar negativity bias tidak mendominasi hidup kita.
Dalam masyarakat, kita sering kali memiliki standar dan harapan tertentu terhadap orang lain. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, kekurangan menjadi lebih menonjol. Hal ini diperburuk oleh budaya perfeksionisme, di mana kesalahan dipandang sebagai sesuatu yang fatal.
Gambar : Ilustrasi |
Melihat kekurangan orang lain sering kali menjadi cara untuk membandingkan diri sendiri secara tidak langsung. Dengan menyoroti kelemahan orang lain, seseorang mungkin merasa lebih baik atau lebih unggul.
Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain, salah satu cara yang sering digunakan untuk membangun persepsi diri yang lebih baik adalah dengan melihat dan menyoroti kekurangan orang lain. Proses ini sering kali tidak disadari, namun memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri, orang lain, dan hubungan sosial secara keseluruhan.
Menurut teori perbandingan sosial (Social Comparison Theory) yang dikemukakan oleh Leon Festinger, manusia secara alami cenderung membandingkan diri dengan orang lain untuk mengevaluasi kemampuan, pendapat, dan status mereka. Hal ini dilakukan untuk memahami posisi diri dalam suatu konteks sosial.
Yang sering mengemuka dalam kehidupan kita, ketika kita merasa tidak yakin dengan nilai, kita sering kali mencari celah dalam diri orang lain untuk mengkompensasi perasaan kurang berharga itu dengan menyoroti kelemahan orang lain. Ketahuilah bahwa yang demikian itu sesungguhnya kita sedang membangun rasa superioritas semu yang memberikan kenyamanan sementara dalam diri kita.
Dalam masyarakat yang kompetitif, keberhasilan sering kali diukur dengan membandingkan pencapaian individu satu sama lain. Dalam konteks ini, melihat kekurangan orang lain menjadi cara untuk merasa lebih unggul, meskipun hanya dalam aspek tertentu.
Dalam konsep agama, sangat tegas larangan untuk melihat kekurangan orang lain sebagai alat untuk merasa diri lebih unggul dan menjadi prinsip mendasar yang diajarkan dalam Islam dan agama-agama lainnya, karena tindakan ini tidak hanya melukai hubungan sosial tetapi juga merusak hati dan jiwa.
Gambar : Ilustrasi |
Ingatlah bahwa melihat kekurangan orang lain untuk membandingkan diri adalah kebiasaan yang sering kali muncul dari kebutuhan akan validasi diri. Namun, ini adalah jalan pintas yang tidak memberikan kepuasan jangka panjang. Dengan mengubah perspektif menjadi lebih apresiatif dan introspektif, kita dapat membangun hubungan yang lebih baik, meningkatkan kualitas diri, dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan mendukung.
Sebagai catatan pinggir, bahwa kebiasaan melihat kekurangan orang lain untuk membandingkan diri adalah cerminan dari kebutuhan akan validasi yang salah arah. Perilaku ini, meskipun mungkin memberikan rasa superioritas sesaat, tetapi tidak akan pernah menghasilkan kepuasan batin yang sejati atau pertumbuhan pribadi yang bermakna.
Akhirnya, ingatlah bahwa hidup adalah tentang perjalanan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri, bukan tentang mengungguli orang lain. Keberhasilan sejati adalah ketika kita mampu menciptakan harmoni antara memperbaiki diri dan memberikan dampak positif kepada orang lain. Mengkritik atau menghakimi kesalahan orang lain sering kali terasa lebih mudah daripada melihat sisi baiknya. Namun, terus-menerus berfokus pada kesalahan seseorang adalah kebiasaan yang tidak hanya merugikan hubungan, tetapi juga membutakan kita terhadap nilai-nilai positif.
”ilallâhi marji‘ukum jamî‘an fa yunabbi'ukum bimâ kuntum fîhi takhtalifûn”. Hanya kepada Tuhan kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan. (QS. Al Maidah ayat 48).
Penulis : Adalag Wakil Rektor II UIN Mataram
0 Komentar