Melampaui Rutinitas: Saat Takwa Hidup di Setiap Langkah Oleh : Prof. DR. H.MAIMUN ZUBAIR, M.Pd

Hikmah Jum'at,18 April 2025, Prof. DR.H.Maimun Zubair, M.Pd

Bertakwalah
kepada Tuhan di mana pun engkau berada.” Kalimat indah dan bersahaja ini bukan hanya sekadar seruan moral, akan tetapi kalimat yang menyimpan kedalaman spiritual dan filosofi hidup yang sangat luhur dalam beragama. Ia menegaskan bahwa takwa bukan hanya aktivitas lahiriah, tetapi kesadaran batin yang terus hidup di setiap ruang dan waktu.

Takwa sering kali dipahami sebagai seperangkat aktivitas lahiriah, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan, menutup aurat, atau membaca Al-Qur’an. Anggapan tersebut tidak salah — karena semua itu adalah manifestasi dari takwa. Namun, takwa sejatinya tidak berhenti pada ritual, ia bukan sekadar kebiasaan, akan tetapi kesadaran, ia bukan pula hanya gerakan, akan tetapi getaran.

Dalam Al-Qur’an, Tuhan tidak menyebut seseorang yang pantas menghuni surga itu adalah orang yang banyak ibadahnya, akan tetapi yang pantas menghuni surga adalah orang-orang yang bertakwa. Mengapa? Karena takwa adalah kualitas batin yang menghidupkan jiwa, bukan hanya tubuh atau raga.

Seseorang bisa dengan mudah belajar bagaimana cara salat yang benar, berpuasa yang baik, atau melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bagus. Akan tetapi kesadaran untuk menghidupkan takwa di dalam hati dalam setiap pelaksanaan ibadah— di situlah letak perjuangan yang sebenarnya.

Takwa adalah perasaan halus yang membuat hati gelisah saat hendak berbuat salah, dan tenteram ketika berada dalam kebaikan. Ia bukan sesuatu yang dilihat manusia, tapi yang dirasakan oleh jiwa yang jujur kepada Rabbnya.

Aktivitas fisik bisa dibatasi oleh ruang—kita bisa shalat di masjid atau tidak, kita bisa puasa atau tidak, kita bisa melaksanakan rangkaian hajji atau tidak, semuanya tergantung keadaan fisik. Akan tetapi takwa adalah kesadaran yang hidup kapan pun dan di mana pun, ia hadir saat seorang pemimpin harus memilih antara keadilan atau kepentingan pribadi, ia berbicara di hati seorang pedagang yang tergoda untuk memanipulasi timbangan, ia hidup dalam diamnya seorang suami atau istri yang tetap setia meski jauh dari pandangan manusia, dan ia membisikkan malu dalam hati seorang pemuda yang membuka ponsel di tengah malam.

Filosofi kalimat bertakwalah di manapun berada adalah konsep kehadiran Tuhan yang bersifat mutlak. Takwa bukan sekadar tunduk di masjid atau di bulan Ramadan. Akan tetapi takwa merupakan komitmen batin untuk selalu merasa dilihat oleh Yang Maha Melihat — entah di keramaian pasar, dalam ruang kerja, atau di tempat sepi yang tidak ada mata manusia yang memandang. Artinya pesan mendalam ini bukan sekadar anjuran untuk taat, melainkan ajakan untuk menghidupkan kesadaran spiritual yang utuh dan kontinyu — tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Takwa dalam dimensi terdalamnya bukan sekadar “takut” dalam arti sempit, namun takwa menjadi kesadaran yang terus-menerus bahwa Tuhan selalu hadir, melihat, dan menyertai, meskipun mata manusia tak melihat. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an: ”wa huwa ma‘akum aina mâ kuntum, wallâhu bimâ ta‘malûna bashîr”. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)

Ketika seseorang benar-benar menyadari bahwa Tuhan ada bersamanya di pasar yang ramai, di kantor yang sibuk, di kamar yang sunyi, atau di jalan yang gelap — maka ia akan menjaga hatinya dari kotor, lisannya dari dusta, dan tangannya dari menyakiti. Dengan kata lain, hadis ”Betakwalah kamu di mana pun berada” mengajarkan kejujuran spiritual, menjadi orang yang tetap konsisten dalam integritas walau tidak ada yang mengawasi, karena ia yakin Tuhan Maha Melihat.

Kalimat ”Betakwalah kamu di mana pun berada” juga menyiratkan bahwa takwa adalah kompas moral, di mana pun kita berada — dalam konteks sosial, budaya, atau bahkan godaan duniawi — takwa adalah pengarah utama untuk tetap berada di jalan yang benar. Ia menuntut kecerdasan spiritual, yakni kemampuan membaca situasi dan tetap memilih yang halal, adil, dan baik, walaupun lingkungannya mengajak pada yang sebaliknya.

Makna yang lebih mendalam dari perintah “bertakwalah di mana pun berada” adalah pembebasan dari ketergantungan pada lingkungan. Seseorang yang bertakwa tidak menunggu suasana religius untuk menjadi baik, tidak pula tergantung pada “mood”, pada orang lain, atau kondisi sekitar, namun ia mandiri secara spiritual. Inilah wujud dari manusia merdeka yang sejati — yang tidak dikendalikan oleh nafsu, tekanan sosial, atau budaya hedonistik, tetapi oleh hubungan vertikal dengan Rabbnya.

Disamping itu pesan moral dari ”Betakwalah kamu di mana pun berada” juga menjembatani antara ritualitas dan etika sosial. Di mana pun seseorang berada — baik sebagai suami, istri, pekerja, pelajar, atau pemimpin — takwa harus terlihat dalam tindakan nyata, seperti kata seorang bijak, Leo Tolstoy, ”Jangan banyak bicara denganku tentang agama, tetapi ijinkan aku melihat agama dalam prilakumu”

Takwa bukan hanya “takut kepada Tuhan” dalam ibadah, tapi juga dalam perlakuan kepada sesama manusia. Banyak orang memahami takwa sebatas “takut kepada Tuhan” dalam konteks ibadah, seperti shalatnya khusyuk, puasanya tertib, dzikirnya lancar, namun takwa sejatinya lebih luas daripada itu, ia bukan sekadar urusan sajadah dan masjid, melainkan juga menyentuh cara kita memperlakukan sesama manusia, bahkan dalam perkara yang tampak kecil, semisal senyum, ucapan, dan adab berinteraksi.

Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan bahwa hakikat takwa itu bukan hanya menjauhi yang haram, tapi juga meninggalkan yang meragukan, meski tampak sepele — apalagi jika menyangkut hak orang lain. Maka, seseorang yang bertakwa akan berpikir dua kali sebelum: (1) Memotong antrian; (2) Berkata kasar kepada bawahannya; (3) Meninggalkan janji tanpa kabar; dan (4) Mengambil keuntungan dari kebodohan orang lain.

Sebagai catatan pinggir, bahwa “bertakwa di mana saja kamu berada” pastinya mengandung pelajaran penting tentang istiqamah, dalam bahasa spiritual adalah latihan menjaga konsistensi hati dan amal. Takwa bukan produk instan, melainkan hasil dari proses pendidikan jiwa yang terus-menerus. Seperti seorang musafir yang tetap mengarah ke kiblat, meski berada di tempat berbeda, demikian pula orang bertakwa akan selalu menghadap kepada Tuhan dalam setiap kondisi. Artinya, dimanapun kaki melangkah, apapun peran yang dijalani, dan dalam kondisi apapun — takwa harus menjadi nafkah spiritual yang membimbing hati dan perilaku kita. 

Penulis: Adalah Wakil Rektor II UIN MATARAM


0 Komentar